Idul Fitri dan Pesan Perdamaian untuk Bangsa

Februari 27, 2008 at 6:30 pm Tinggalkan komentar

Oleh: Abd. Malik Ustman

Hari Idul Fitri merupakan hari raya besar umat Islam yang dirayakan pada akhir bulan Ramadan sebagai aktualisasi perasaan kemenangan, kegembiraan, dan kesenangan. Kemenangan didapatkan setelah umat Islam menaklukkan hawa nafsunya selama bulan puasa. Kegembiraan didapatkan bagi mereka yang telah diampuni dosanya. Dan kesenangan didapatkan bagi mereka yang dapat berkumpul dan bersilaturahmi dengan sesama keluarganya.

Dalam perayaan Idul Fitri kali ini, ada suatu hal yang perlu dikaitkan antara konteks sosial bangsa dengan makna Idul Fitri yang selalu berorientasi perdamaian. Beberapa tahun terakhir, beragam kekerasan masih terus mewarnai masyarakat Indonesia baik dalam skala kecil ataupun besar, baik bersifat manifest maupun laten. Kekerasan itu didorong oleh faktor-faktor yang beragam mulai dari persoalan kecemburuan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun agama. Pertanyaannya mengapa agama yang selalu mengajarkan perdamaian tetap saja dianggap sebagai bagian dari penuai konflik?

Baru-baru ini, Poso diguncang dengan beragam aksi kekerasan yang ditenggarai ketidakpuasan terhadap hukum mati Tibo cs. Penembakan dan peledakan bom masih terus terjadi. Ketegangan mulai tampak dan jalinan persaudaraan lintas agama yang dirintis sejak lama terancam putus. Apalagi mendekati perayaan Idul Fitri, tentu saja perayaan tersebut akan dihantui dengan perasaan khawatir dan cemas. Kenapa agama masih dipersoalkan? Apabila ada perayaan besar sejumlah daerah yang katanya rawan konflik dijaga ketat. Kenapa lagi-lagi agama dipersoalkan. Atau memang benar agama sumber permasalahannya? Apakah agama indentik dengan kekerasan?

Jawaban klasik dari pertanyaan di atas adalah tidak mungkin agama menjadi faktor konflik karena setiap agama mengajarkan perdamaian. Benar, tapi itu hanyalah cita dan idealitas agama.
Pada faktanya, umat beragama seringkali mengumbar kekerasan yang kadang dimotivasi agama. Pada biasanya umat beragama selalu terprovokasi dengan isu sentimen agama. Dan seringkali karena fanatisme kekerasan menjadi solusi yang mengasyikkan bagi umat beragama.

Memaafkan
Pokok permasalahan bukan pada agama A atau B yang salah, tetapi cara keberagamaan si A atau si B yang kurang benar. Kedangkalan keberagamaan seseroang seringkali dimanfaatkan oleh beberapa pegiat konflik untuk menyulut kekerasan. Seandainya tingkat kedewasaan umat mapan, tentu berbagai kekerasan tidak akan memancing umat beragama melebur dalam sintimen relijius tersebut.

Kedewasaan itu tergantung pengetahuan keagamaan yang dimiliki seseorang. Konflik juga bersumber oleh belum adanya rekonsiliasi antar umat beragama secara berkesinambungan. Berdamai tidaklah cukup tanpa dibarengi sikap untuk melupakan dendam masa lalu, berani memutus konflik masa silam dan siap menantap masa depan yang lebih baik. Kebanyakan konflik adalah koflik warisan yang sampai detik ini belum bisa teratasi.

Maka untuk perdamaian yang permanen tidak cukup dengan dialog-dialog, tetapi rekonsiliasi pascakonflik. Masyarakat diajak untuk memutus kenangan pahit masa lalu dan siap menatap masa depan yang lebih baik. Berkaitan dengan dengan ulasan singkat di atas, Idul Fitri memiliki peran penting dalam melakukan agenda tersebut. Ada satu prinsip yang cukup menarik yang ada di dalam perayaan Idul Fitri yang mestinya dapat diaktualisasikan oleh umat Islam dalam merayakan hari kemenangannya. Prinsip tersebut adalah memaafkan.

Memaafkan memiliki banyak arti, baik menabur perdamaian maupun rekonsiliasi, yakni kesediaan hati untuk menerima kesalahan masa lalu dan siap menatap ke masa depan yang lebih cerah. Prinsip rekonsiliasi adalah satu elemen penting yang patut mendapatkan sorotan dalam perayaan Idul Fitri.
Memaafkan bukan hal yang remeh atau sekedar berjabat tangan. Jabat tangan hanyalah simbol. Demikian pula berdamai bukan hanya dengan mengadakan pertemuan lintas agama dan melakukan perdamaian seraya berkata bahwa kita sudah berdamai.

Secara filosofis memaafkan berarti keinginan yang konstan untuk hidup dalam suatu hari tanpa menengok ke belakang dan memupus kenangan saat kebencian dan dendam terjadi. Memaafkan mempunyai implikasi besar. Melalui kekuatan memaafkan seseorang akan merasa terbebaskan dari beban masa silam sehingga mereka bisa bertindak tegas dalam masa kini. Memaafkan yang dimaksud bukan sekadar tindakan lahiriyah semata tetapi juga komitmen batin untuk siap menerima dan tulus terhadap tindakan memaafkan tersebut.

Hari Kasih Sayang
Chaiwat Satha Anand mencatat bahwa dalam Al-Qur’an ada 12 ayat yang membahas tentang memaafkan. Inilah bukti bahwa Islam selalu mengajarkan sikap memaafkan. Tindakan Rasul pun menjadi satu teladan (uswatun hasanah) bagi umat yang ingin belajar sikap memaafkan. Dan satu lagi perayaan Idul Fitri adalah perayaan yang memuat konsep memaafkan.

Artinya Idul Fitri tidak sekedar dirayakan dengan berjabat tangan, tetapi ada satu tanggung jawab besar untuk selalu melupakan masa lalu dan siap melangkah untuk kebaikan masa depan.
Idul Fitri yang mengajarkan untuk saling memaafkan harus menjadi inspirasi bagi seseorang atau kelompok untuk berbuat dan mengadakan rekonsiliasi. Di hari ini, masyarakat Indonesia harus bisa mengikat tali persaudaraan antara sesama muslim, antara suku bangsa sehingga menciptakan persaudaraan nusantara yang bebas dari ancaman disintegrasi, teror dan kekerasan lainnya.
Memaafkan adalah tindakan sosial, politik nir-kekerasaan. Karenanya sudah saatnya kekerasan dihentikan dan menuju suasana yang saling memaafkan dan penuh perdamaian.

Apabila masa lalu dipenuhi dengan konflik dan dendam, hubungan yang renggang dan persaudaran yang terputus, maka di hari yang fitri ini kita mulai menjadi momen untuk mengembalikan ikatan dan hubungan persaudaraan tersebut. Melalui Idul Fitri manusia dituntut untuk mengaktualisasikan makna memaafkan tersebut dalam lapangan sosial. Dengan kata maaf, seseorang berarti bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan menghindari konflik.

Idul Fitri juga merupakan kesempatan baik bagi bangsa ini untuk merefleksikan kata maaf. Bangsa Indonesia adalah bersaudara, karena itulah di hari raya yang penuh dengan kasih-sayang dan maaf ini kita saling bersilaturahhmi dan berkomitmen untuk saling menjaga persaudaraan antar kelompok lintas warna kulit, ras, adat dan agama. Sudah saatnya melupakan dendam masa lalu, membuang warisan kebencian dan menyambung kembali persaudaraan kebangsaan.

*Penulis adalah alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Aktif di Community for Religion and Social engineering (CRSe), http://www.sinarharapan.co.id/berita/0610/21/opi01.html

Entry filed under: Abd. Malik, Kliping.

Menagih Komitmen Institusi Kejaksaan Imlek, Hijriah, dan Dialog Peradaban

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


SELAMAT BERPUASA

Community for Religion and Social engineering (CRSe) mengucapkan SELAMAT BERPUASA bagi segenap umat Islam. Semoga amal ibadahnya di terima disisi Allah SWT.

Kategori

NGARSIP