Menyoal Agama Kerakyatan

Maret 23, 2008 at 9:21 am Tinggalkan komentar

Oleh : A Muhammad Furqan**

Gagasan yang ditawarkan Hatim Gazali mengenai agama kerakyatan yang dituangkan dua kali dalam tulisan di Media Indonesia dengan judul ”Membangun Agama Kerakyatan” (5/12/2003) dan ”Menyempurnakan Agama Kerakyatan” (26/12/2003) tidak memberikan suatu pemahaman yang baru dalam khazanah intelektual. Para penanggap pun terkesan sungkan untuk memberikan catatan kritis atas gagasan yang ditawarkan Hatim Gazali, sehingga terkesan lebih mengamini ketimbang mengkritisi pemikiran Hatim.

Dari kedua tulisan tersebut, ada beberapa hal yang perlu mendapat catatan kritis. Pertama, Hatim tidak konsisten dengan taksonomi yang dibuatnya mengenai (al-din) dan (al-fikr al-diniyah). Dalam penjelasannya Hatim membedakan antara (al-din) agama yang bersifat universal, absolut, dan (al-fikr al-diniyah) pemikiran keagamaan yang bersifat ijtihadi, dhanny, relatif, nisbi, dan partikular. Namun sayang, dalam menguraikan gagasannya Hatim tidak jelas dalam menggunakan mana al-din dan mana al-fikr al-diniyah. Dalam paragraf 9, Hatim menulis, ”Jika demikian, maka membangun agama kerakyatan menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar..

Dalam hal ini Hatim menggunakan kata Agama (al-din) bukan (al-fikr al-diniyah). Hal inilah yang menimbulkan ketidakkonsistenan sekaligus ketidakjelasan konsep, bukankah ini menjadi kontradiktif dengan penjelasan di atas tentang perbedaan antara al-din dengan al-fikr al-diniyah. Sebab kalau yang dimaksud dengan agama (al-din) kerakyatan adalah agama baru, sama artinya dengan melukis di atas air. Dalam tulisannya yang kedua Hatim menegaskan bahwa yang dimaksud Agama Kerakyatan yaitu agama yang melampirkan semangat perdamaian, persaudaraan, toleransi, persamaan kepada segenap manusia tanpa memandang perbedaan etnis, budaya, bahasa, dan agama dengan berlandaskan agama-agama.

Pertanyaannya, apanya yang baru, bukankah selama ini pemahaman ‘kita’ terhadap Islam adalah demikian adanya. Alquran berkali-kali menjelaskan akan adanya keberagaman agama samawi dan juga sikap yang harus diambil dalam keberagaman tersebut, QS 2:139, 42:15, 109:6. Demikian juga dengan beraneka ragamnya suku, bangsa, dan etnis yang berbeda QS 5:48, 30:22, 49:13. Meski demikian, penulis tetap coba memahami apa yang digagas Hatim yang menggunakan istilah Agama Kerakyatan. Istilah kerakyatan sangat mempunyai arti yang sangat politis. Apalagi dalam penjelasannya kerakyatan merupakan antitesa dari kalangan elite. Dan tafsir agama kerakyatan merupakan ‘perlawanan’ atau ‘pembebasan’ dari hegemoni tafsir kalangan elite untuk mencapai kehidupan yang lebih manusiawi.

Pendekatan ini secara gamblang merupakan adopsi dari pendekatan Karl Marx tentang kelas seperti yang tertuang dalam Manifest of the Communist Party dan Gaetane Mosca dalam The Ruling Class, di mana masyarakat dibagi menjadi dua; mereka yang menindas (elite/ borjuis) atau yang tertindas (rakyat/proletar/mustad’afiin).

***

Dalam khazanah intelektual Indonesia pendekatan kelas pernah digunakan seorang aktivis Islam komunis, yaitu Kiai Haji Misbach. Bagi Misbach yang notabene seorang kiai secara terang-terangan mengaku sebagai seorang komunis. Dalam hal ini Misbach secara ideologis adalah Islam. Namun dalam membaca realitas kehidupan, Misbach menggunakan pisau analisis Marxis.

Namun penulis melihat, Hatim yang melontarkan gagasan Agama Kerakyatan tampaknya lebih terinspirasi oleh pemikiran Hasan Hanafi, pemikir Islam liberal asal Mesir, ketimbang langsung Marxis. Hasan Hanafi dalam bukunya Kiri Islam (Al-yasr Al-Islami fi Al-Nahdla al-Islamiyah) menawarkan pendekatan bahwasanya Islam sebagai agama mempunyai ruh pembebasan. Hasan Hanafi tidak bisa menerima keterpurukan umat Islam yang cara berpikirnya ‘terpenjara’ oleh tradisi salaf yang menolak modernitas. Baginya modernitas bukan sesuatu hal yang harus ditolak, namun diadopsi selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai esensial ajaran Islam.

Dalam konteks ini Hasan Hanafi melakukan klaim akademis bahwa Islam (baca: kiri) sebagai kalangan yang tertindas oleh kekuataan status quo baik politik, budaya, sosial, dan realitas sistem kelas yang represif terhadap masyarakat Islam. Maka Islam harus melakukan perlawanan terhadap kekuataan status quo yang dalam hal ini dipelopori dunia barat. Terkait dengan gagasan yang ditawarkan Hatim, penulis tidak melihat adanya elite agamawan yang memonopoli tafsir keagamaan (khususnya Islam) entah agama lain. Dan sepanjang sejarah pemikiran Islam di Indonesia perbedaan pendapat tentang containt kitab suci –baik yang terjadi di kalangan intraorganisasi seperti NU, Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis), maupun antarorganisasi– merupakan suatu hal yang biasa. Tapi memang, orang yang mempunyai pemahaman baru harus bekerja keras meyakinkan orang-orang terdahulu yang berbeda.

Dan itu sesuatu yang lumrah. Penulis sendiri tidak setuju dengan hegemoni interprestasi kitab suci atau ajaran keagamaan oleh kalangan elite agamawan. Karena memang sesungguhnya hal ini dilarang dalam Islam (la rahbaniyah fil Islam). Tidak ada kesahiban yang mempunyai hak istimewa dalam menginterprestasikan kitab suci. Namun di sisi lain, kitab suci agama apa pun, tentu tidak sembarang orang untuk menafsirkannya begitu saja, tanpa ada syarat-syarat tertentu. Karena jika tafsir terhadap kitab suci diberikan secara longgar, maka yang tercipta bukan keteduhan tapi kegaduhan dalam beragama. Dalam hemat penulis pendekatan yang ditawarkan oleh Hatim masih memerlukan penjelasan yang lebih jauh. Sebab, kelemahan dari gagasan Hatim adalah ketidakjelasan siapa yang dimaksud dengan elite agamawan (terutama dalam Islam).

Dan jika pendekatannya menitikberatkan pada penafsiran yang lebih merakyat, maka akan tercipta kondisi di mana kaum yang menganut Agama Kerakyatan melakukan legitimasi terhadap tindakannya, sebagaimana kalangan elite. Tak hanya itu, penulis juga melihat bahwa pendekatan antagonis ini tidak akan pernah menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang ada. Sebab pendekatan ini saling menafikan eksistensi satu sama lain. Karena itu, pendekatan syumuliyat al-Islam seperti digagas Hasan Al-Banna yang dilanjutkan Sayyid Quthb –yang menjadi inspirator bagi Hasan Hanafi– perlu juga dipikirkan. Bagi Hasan Al-Banna Islam tidak hanya gagasan tapi juga amal. Maka kita tidak hanya melulu belajar tentang agama, tetapi juga mulai belajar beragama. Wallahu’alam

**Peneliti The Amin Rais Center Jakarta

Entry filed under: Kliping, Teologi.

Menuju Praksis Agama Kerakyatan Mengkaji Teologi Transformatif

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


SELAMAT BERPUASA

Community for Religion and Social engineering (CRSe) mengucapkan SELAMAT BERPUASA bagi segenap umat Islam. Semoga amal ibadahnya di terima disisi Allah SWT.

Kategori

NGARSIP